Indonesia Bisa!!! Pemerintah, PDHI dan IDI Harus Kerja Sama Cegah Ebola.

Posted: August 2, 2014 in Coretan "Tabib" Hewan, Suara "Rembug"an Rakyat
Tags: , , ,
Gejala EBOV (Sumber : ilmuveteriner.com)

Gejala EBOV (Sumber : ilmuveteriner.com)

Indonesia menghadapi tantangan baru dalam isu kesehatan. Virus Ebola (EBOV) banyak diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para pakar virologi dan epidemiologi. Kewaspadaan terhadap masuknya EBOV ke Indonesia dikhawatirkan dapat berlangsung cepat mengingat letak geografis, keanekaragaman hayati, serta dampak global warming yang memiliki faktor risiko yang tinggi terhadap berkembangnya Emerging Infectious Diseases (EID). Berikut catatan kecil saya terkait EBOV :

Etiologi

            Virus Ebola (EBOV) merupakan kelompok dari famili Filovirus yang memiliki rantai tunggal (single stranded) RNA pleomorfik dan ber-envelope. Beberapa rantai genome-nya mirip dengan famili Paramyxoviridae (Feldmann et al., 1994). Virus Ebola (EBOV) juga memiliki kesamaan dengan virus Marburg (MARV) sehingga banyak pakar virolog yang menyebutkan kedua virus ini masuk kedalam famili yang sama (Sanchez et al., 1996).

EBOV memiliki panjang genom 19 kb dengan protein struktural meliputi envelope virion Glikoprotein (GP), nukleoprotein (NP) serta matriks protein VP24 dan VP40. Selain itu, EBOV memiliki protein nonstruktural seperti VP30 dan VP35. Berbeda dengan MARV, glikoprotein EBOV memiliki ekspresi gen terlarut yakni 60-70 kDa (sGP) dan 150-170 kDa (GP). Kedua ekspresi tersebut dapat menembus membran virus melalui traskripsi gen (Sanchez et al., 2001).

Epizootiologi

Menurut WHO dan didukung data oleh Bowen et al., (1977) bahwa kejadian pertama pada tahun 1976 di lembah sungai Ebola, Zaire. Selama 27 tahun berikutnya telah menyebar ke Afrika dengan tingkat mortalitas 50-90%. Dalam tiga tahun terakhir di setiap tahunnya telah dilakukan surveilance di Afrika Tengah dan Rep. Kongo dengan laporan terakhir telah terjadi 125 kematian manusia.

Reston Ebola Virus (REBOV) juga telah dilaporkan pada tahun 1989-1990 ketika badan karantina USA menemukan pada kasus impor mnyoet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari Filipina. Pada 2008-2009 pernah dilaporkan infeksi REBOV pada babi dan manusia di Filipina. Namun, laporan terhadap penyakit hemorrhagic fever dari famili filovirus pada manusia belum pernah terjadi di Asia (WHO, 2009). Sampai saat ini telah dikenal beberapa spesies EBOV, yakni Zaire Ebola Virus (ZEBOV), Sudan Ebola Virus (SEBOV), Pantai Gading Ebola Virus (CIEBOV), Bundibugyo Ebola Virus (BEBOV), dan Reston Ebola Virus (REBOV) (Sanchez et al., 2007).

Di Indonesia, belum pernah terdapat laporan resmi adanya EBOV baik yang menginfeksi manusia maupun hewan primata. Namun, berdasarkan penelitian Nidom et al., (2012) menemukan adanya antibodi beberapa spesies filovirus atau unknown filovirus-related yang secara serologis mirip dengan EBOV di Afrika yang terdapat pada beberapa ekor orang utan Kalimantan. Hal itu tentu menunjukkan adanya potensi EBOV pada primata dan hewan liar maupun domestik di Indonesia sehingga perlunya studi pengendalian faktor risiko dan pengawasan terhadap infeksi filovirus.

Laporan terbaru Baize et al., (2014) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa pada bulan Desember 2013 muncul wabah EBOV strain baru di Guinea yang identik dengan ZEBOV dan memiliki tingkat clinical suspect 71% dari 20 sampel manusia dengan angka fatality rate 86%.

Patogenesis

Baize et al., (2014) mengungkapkan kemungkinan besar potensi EBOV dibawa oleh kelelawar buah sebagai reservoar utama. Spesies Hypsignathus monstrosus, Epomops franqueti, dan Myonycteris torquata diduga menjadi reservoar EBOV dari Guinea menuju Rep. Demokratik Kongo, Gabon dan regional Afrika Barat.

Untitled

Respon Imun (Yang et al., 1998)

EBOV memiliki glikoprotein GP dan sGP yang dapat menembus secara transmembran maupun binding terhadap sel endotelial. Respon imun dari tubuh host sangat peka terhadap EBOV sehingga dapat merilis monosit dan makrofag dengan diikuti pelepasan sitokin. Tubuh host akan mengalami inflamasi dan demam akut. Infeksi pada sel endotel akan menginduksi efek sitopatik dan merusak barier utama dari endotel. Bersamaan dengan efek sitokin, proses sirkulasi akan menurun (Yang et al., 1998).

Manifestasi GP EBOV pada vena umbilicalis manusia atau sel 293T menurunkan integrin spesifik sehingga terjadi gangguan adhesi sel menuju matriks ekstraseluler. Disregulasi sitokin serta infeksi virus melebihi virulen dapat bersinergi menyebabkan perdarahan berat dan kolaps vasomotor pembuluh darah (Yang et al., 2000).

Gejala Klinis

Infeksi EBOV berlangsung dalam waktu 14-21 hari dengan gejala pada primata maupun manusia hampir sama. Infeksi awal muncul dengan gejala flu, demam, mialgia, dan malaise. Pada pasien subkronis, akan terjadi gangguan koagulasi darah sehingga akan tampak perdarahan gastrointestinal, ruam, limfopenia dan neutrofilia. Sitokin yang dirilis secara berlebihan mengakibatkan respon inflamasi yang tidak protektif. Kerusakan hepar disertai viremia tinggi mengakibatkan koagulopati intravaskuler (Sanchez et al., 2001).

Diagnosis

Menurut Nidom et al., (2012) uji serologis serum sampel dengan IgG spesifik filovirus dapat memberikan angka sensitifitas yang tinggi. Disertai dengan antigen glikoprotein virus rekombinan dari ZEBOV, SEBOV, CIEBOV, BEBOV, REBOV, MARV.

Baize et al., (2014) menggunakan kompleks genom RNA EBOV untuk disekuensing dengan real-time reverse-transcriptase–PCR (RT-PCR). EBOV juga di isolasi pada sel vero E6 dengan medium kompleks dan antibiotik untuk mendapatkan biakan poliklonal dari EBOV. Spesimen dapat diamati dengan mikroskop elektron berfilamen LaB6 pada voltase 80kV.

Selain berdasarkan gejala klinis, peningkatan sitokin seperti  IFN-γ, IFN-α, interleukin-2 (IL-2), IL-10, and tumor necrosis factor alpha dapat mengindikasikan kemungkinan suspek EBOV.

Pengobatan, Pencegahan dan Kajian Epidemiologis

Penelitian terkait EBOV haruslah mendapat perhatian yang ketat dan hanya bisa dilakukan dibawah perlindungan komisi ethical clearance. Sejauh ini penggunaan sampel primata sebagai obyek penelitian telah banyak memberikan perkembangan sebagai pencegahan EBOV. DNA vaksin masih menjadi alternatif pertama yang digunakan sebagai strategi preventif potensi sporadik EBOV. Pengobatan hanya bersifat suportif. Namun, pakar virolog dan imunolog terus mengembangkan agar kelak ditemukan vaksin dan antivirus yang lebih efektif dalam menganggulangi EBOV.

Potensi terbesar EBOV terdapat pada mutasi glikoprotein (GP) yang bekerja pada transmembran dan sel endotel antar host dengan agen. Penelitian untuk memberikan harapan terhadap pengendalian GP EBOV menjadi fokus utama dan diharapkan dapat menjadi strategi preventif yang efektif.

Indonesia perlu melakukan surveilance yang terkonsep dan teratur sebagai bentuk early warning system wabah EBOV. Demikian juga dengan memperketat port d’ entre dari penyakit di sektor karantina sebagai barier pertama lalu lintas hewan. Selain itu, penting juga pengendalian hewan reservoar potensial yang dapat memicu persebaran EBOV mengingat letak geografis yang memungkinkan migrasi hewan liar maupun domestikasi di lingkup Asia.

Strategi kuratif patut dihindari karena lepas dari unsur kepentingan politis maupun bisnis, metode ini lebih banyak kerugiannya. Berkaca dari metode kuratif sebagai pengendalian kasus flu burung, tentu akan merugikan sisi ekonomi peternak komersial, aspek perikehewanan, juga ketercukupan gizi dari protein hewani akan menurun karena disertai masalah kompleks tingginya harga daging sapi. Pemusnahan satwa primata tentu bukan solusi satu-satunya hanya untuk memutus rantai EBOV pada manusia. Bahkan bisa dikatakan itu bukan solusi melainkan masalah baru yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap satwa yang dilindungi. Kerja sama antara departemen di pemerintahan dalam hal ini Kemenkes, Kemenhut, Kementan dan instansi terkait serta organisasi profesi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diharapkan dapat mewujudkan konsep ‘One Health’ menjadi aksi nyata. Indonesia Bisa!!!

Referensi

Baize, S., D. Pannetier, L. Oestereich, T. Rieger, L. Koivogui, N. Magassouba, B. Soropogui, M.S. Sow, S. Keïta, H.De Clerck, A. Tiffany, G. Dominguez, M. Loua, A. Traoré, M. Kolié, E.R. Malano, E. Heleze, A. Bocquin, S. Mély, H. Raoul, V. Caro, D. Cadar, M. Gabriel, M. Pahlmann, D. Tappe, J. Schmidt-Chanasit, B. Impouma, A.K. Diallo, P. Formenty, M. Van Herp, and S. Günther. 2014. Emergence of Zaire Ebola Virus Disease in Guinea — Preliminary Report. J.med 10.1056/NEJMoa1404505

Bowen, E. T., G. Lloyd, W. J. Harris, G. S. Platt, A. Baskerville, and E. E. Vella. 1977. Viral haemorrhagic fever in southern Sudan and northern Zaire. Preliminary studies on the aetiological agent. Lancet i:571-573.

Feldmann, H., S. T. Nichol, H. D. Klenk, C. J. Peters, and A. Sanchez. 1994. Characterization of filoviruses based on differences in structure and antigenicity of the virion glycoprotein. Virology 199:469-473.

Nidom, CA., E. Nakayama, R.V. Nidom, M.Y. Alamudi, S. Daulay, I.N.L.P. Dharmayanti, Y.P. Dachlan, M. Amin, M. Igarashi, H. Miyamoto, R. Yoshida, A. Takada. 2012. Serological Evidence of Ebola Virus Infection in Indonesian Orangutans. PLoS ONE 7(7): e407 40. doi:10.1 371/journal.pone. 0040740

Sanchez, A., S. G. Trappier, B. W. J. Mahy, C. J. Peters, and S. T. Nichol. 1996. The virion glycoproteins of Ebola viruses are encoded in two reading frames and are expressed through transcriptional editing. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 93:3602-3607.

Sanchez, A., A. S. Khan, S. R. Zaki, G. J. Nabel, T. G. Ksiazek, and C. J. Peters. 2001. Filoviridae: Marburg and Ebola viruses, p. 1279-1304. In D. M. Knipe and P. M. Howley (ed.), Fields virology. Lippincott, Williams & Wilkins, Philadelphia, Pa.

Sanchez A, Geisbert TW, Feldmann H. 2007. Filoviridae: Marburg and Ebola Viruses. In: Knipe DM, Howley PM, editors. pp. 1409–1448. Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins.

World Health Organization. 2009. Ebola Reston in pigs and humans, Philippines. Weekly Epidemiological Record 84: 49–50.

Yang, Z.-Y., R. Delgado, L. Xu, R. F. Todd, E. G. Nabel, A. Sanchez, and G. J. Nabel. 1998. Distinct cellular interactions of secreted and transmembrane Ebola virus glycoproteins. Science 279:1034-1037.

Yang, Z.-Y., H. J. Duckers, N. J. Sullivan, A. Sanchez, E. G. Nabel, and G. J. Nabel. 2000. Identification of the Ebola virus glycoprotein as the main viral determinant of vascular cell cytotoxicity and injury. Nat. Med. 6:886-889.

Leave a comment